Direktur Pascasarjana Pendidikan UST Yogyakarta, Ki Priyoko menjelaskan
bahwa Ijazah “Bodong” merupakan kasus yang sering terjadi diperguruan
tinggi. Ijazah ini didapat melalui proses yang legal dan diberikan oleh
lembaga yang sah kepada orang yang berhak menerima, namun ijazah ini
tidak dapat digunakan karena program studi pada perguruan tinggi
tersebut tidak terakreditasi
Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 16 mei 2005 lalu, menjelaskan secara rinci pemberlakuan ijazah dikaitkan dengan status akreditasi pada perguruan tinggi.
PP Standar Pendidikan Nasional dalam pasal 28 ayat (1) menyebutkan pencapaian kompetensi akhir peserta didik dinyatakan dalam dokumen ijazah dan/atau sertifikat kompetens1. Ayat 2 pasal yang sama disebutkan: ijazah sebagaimana dimaksud ayat (1) diterbitkan oleh satuan pendidikan dasar dan menengah serta satuan pendidikan tinggi, sebagai tanda peserta didik yang bersangkutan telah lulus dari satuan pendidikan.
Sedangkan pasal 94 ayat 2 menegaskan satuan pendidikan wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan PP ini paling lambat 7 (tujuh) tahun Artinya, kalau PP SNP ditetapkan oleh Presiden SBY tanggal 16 Mei 2005, pada 16 Mei 2012 satuan pendidikan yang memberikan ijazah kepada peserta didik wajib sudah terakreditasi kalau ingin ijazahnya tidak ”bodong”. Hal ini berlaku untuk satuan pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pasal 86 Ayat (1) menyebutkan, pemerintah melakukan akreditasi pada setiap jenjang dan satuan pendidikan untuk menentukan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan. Sementara Pasal 87 Ayat (1) menyebutkan akreditasi oleh pemerintah dilaksanakan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) terhadap program dan/atau satuan pendidikan jenjang pendidikan tinggi.
Logikanya, jika tujuh tahun setelah ditetapkannya PP (16 Mei 2012) ada satuan pendidikan yang tidak menyesuaikan diri dengan ketentuan PP SNP, satuan pendidikan bersangkutan tak dapat memenuhi ketentuan PP Standar Nasional Pendidikan. Berarti satuan pendidikan itu termasuk ijazahnya dinyatakan tidak sah secara Undang-undang.
Jika pemikiran Ki Priyoko diatas benar, ijazah yang dikeluarkan setelah 16 Mei 2012 oleh satuan pendidikan yang tak terakreditasi BAN-PT merupakan ijazah ”bodong”. Secara fisik ada, tetapi tak berlaku sebagaimana mestinya.
Kasus Ijazah Palsu kembali terbongkar
Polda Jatim menerima tanggapan Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah VII Jatim perihal kasus ijazah palsu yang terbongkar baru-baru ini. "Kopertis itu tidak punya kewenangan untuk membuat ijazah," kata Ketua Kopertis Wilayah VII Jatim Sugijanto.
Sugijanto menjelaskan, sejak terbit SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (mendikbud) RI No 184 Tahun 2001, Kopertis tidak punya kewenangan banyak. Dalam SK tersebut, disebutkan bahwa Perguruan Tinggi Swasta (PTS) diberi otonomi untuk melaksanakan berbagai tindakan termasuk dalam hal ijazah.
Dengan begitu, jika ada masalah maka seharusnya yang bertanggungjawab adalah pihak PT yang bersangkutan. Namun Sugijanto menegaskan, kasus ijazah palsu rawan terjadi jika PTS bersangkutan mengalami konflik. Seperti kasus di Universitas Dr Soetomo (Unitomo). Hal itu terbongkar karena ada alumninya yang memprotes ijazahnya tidak laku saat dipakai untuk melamar kerja. Setelah ditelusuri, baru diketahui ternyata pelakunya adalah mantan dosen.(OKC/KOM.C)
Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 16 mei 2005 lalu, menjelaskan secara rinci pemberlakuan ijazah dikaitkan dengan status akreditasi pada perguruan tinggi.
PP Standar Pendidikan Nasional dalam pasal 28 ayat (1) menyebutkan pencapaian kompetensi akhir peserta didik dinyatakan dalam dokumen ijazah dan/atau sertifikat kompetens1. Ayat 2 pasal yang sama disebutkan: ijazah sebagaimana dimaksud ayat (1) diterbitkan oleh satuan pendidikan dasar dan menengah serta satuan pendidikan tinggi, sebagai tanda peserta didik yang bersangkutan telah lulus dari satuan pendidikan.
Sedangkan pasal 94 ayat 2 menegaskan satuan pendidikan wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan PP ini paling lambat 7 (tujuh) tahun Artinya, kalau PP SNP ditetapkan oleh Presiden SBY tanggal 16 Mei 2005, pada 16 Mei 2012 satuan pendidikan yang memberikan ijazah kepada peserta didik wajib sudah terakreditasi kalau ingin ijazahnya tidak ”bodong”. Hal ini berlaku untuk satuan pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pasal 86 Ayat (1) menyebutkan, pemerintah melakukan akreditasi pada setiap jenjang dan satuan pendidikan untuk menentukan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan. Sementara Pasal 87 Ayat (1) menyebutkan akreditasi oleh pemerintah dilaksanakan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) terhadap program dan/atau satuan pendidikan jenjang pendidikan tinggi.
Logikanya, jika tujuh tahun setelah ditetapkannya PP (16 Mei 2012) ada satuan pendidikan yang tidak menyesuaikan diri dengan ketentuan PP SNP, satuan pendidikan bersangkutan tak dapat memenuhi ketentuan PP Standar Nasional Pendidikan. Berarti satuan pendidikan itu termasuk ijazahnya dinyatakan tidak sah secara Undang-undang.
Jika pemikiran Ki Priyoko diatas benar, ijazah yang dikeluarkan setelah 16 Mei 2012 oleh satuan pendidikan yang tak terakreditasi BAN-PT merupakan ijazah ”bodong”. Secara fisik ada, tetapi tak berlaku sebagaimana mestinya.
Kasus Ijazah Palsu kembali terbongkar
Polda Jatim menerima tanggapan Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah VII Jatim perihal kasus ijazah palsu yang terbongkar baru-baru ini. "Kopertis itu tidak punya kewenangan untuk membuat ijazah," kata Ketua Kopertis Wilayah VII Jatim Sugijanto.
Sugijanto menjelaskan, sejak terbit SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (mendikbud) RI No 184 Tahun 2001, Kopertis tidak punya kewenangan banyak. Dalam SK tersebut, disebutkan bahwa Perguruan Tinggi Swasta (PTS) diberi otonomi untuk melaksanakan berbagai tindakan termasuk dalam hal ijazah.
Dengan begitu, jika ada masalah maka seharusnya yang bertanggungjawab adalah pihak PT yang bersangkutan. Namun Sugijanto menegaskan, kasus ijazah palsu rawan terjadi jika PTS bersangkutan mengalami konflik. Seperti kasus di Universitas Dr Soetomo (Unitomo). Hal itu terbongkar karena ada alumninya yang memprotes ijazahnya tidak laku saat dipakai untuk melamar kerja. Setelah ditelusuri, baru diketahui ternyata pelakunya adalah mantan dosen.(OKC/KOM.C)
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !