KEKUATAN INFORMASI:
Dari Preliteracy ke Postliteracy*
Sejarah
membuktikan bahwa maju tidaknya peradaban sebuah bangsa sangat
ditentukan oleh tingkat penguasaan informasinya. Legitimasi historis ini
dapat kita rasakan bukan hanya dalam level organisasi besar seperti
negara tetapi juga dalam level individual. Hingga hari ini kita
menyaksikan bahwa negara yang dikategorikan negara maju adalah
negara-negara yang menguasai informasi berikut teknologinya. Dalam level
individual, seseorang yang memiliki banyak informasi atau pengetahuan
akan menjadi orang yang penuh dinamika dan kreativitas serta ia akan
menjadi opinion leader di
masyarakatnya. Hukum besi kehidupan ini akan berlaku di sepanjang umur
sejarah manusia yang membentang dari zaman praliterasi (preliteracy) sampai pascaliterasi (postliteracy).
Zaman praliterasi adalah sebuah zaman dimana komunikasi sosial
masyarakatnya masih berada dalam tradisi lisan dan sulit mengakses
sumber informasi. Kalaupun ada, mereka tidak bisa mencernanya dengan
baik. Zaman literasi mewakili masyarakat terdidik yang ditandai dengan
tumbuh suburnya institusi pendidikan dan banyaknya didirkan pusat-pusat
informasi. Akan tetapi, walaupun memiliki akses yang luas terhadap
sumber-sumber informasi, tidak berarti tradisi baca-tulis tumbuh subur
di kalangan ini. Sedangkan pascaliterasi ditandai dengan pesatnya
perkembangan teknologi informasi untuk memproduksi informasi digital dan
pengelolaan citra bergerak yang kompleks, seperti yang kita saksikan
sekrang ini terutama di kota-kota besar.
Isyarat Masa Lalu
Dalam sebuah cerita rakyat, legenda, pewayangan atau cerita-cerita
kepahlawanan (epos), yang tumbuh subur di zaman praliterasi, selalu ada
dua jenis pusaka yang dijadikan bahan rebutan oleh para jawara atau dua
kubu yang berhadap-hadapan. Pusaka tersebut kalau tidak berupa kitab
atau buku, pasti berupa senjata. Ini adalah sebuah pesan historis yang
kalau ditafsirkan bisa diartikan bahwa perubahan di dunia ini bisa
terjadi oleh dua kekuatan yaitu kekuatan intelektual (yang disimbolkan
dengan buku) dan yang kedua adalah kekuatan militer (yang disimbolkan
dengan senjata). Perubahan akan berjalan serasi apabila ada sinergi di
antara keduanya yaitu adanya sinergi atara kepintara dan kekuatan. Orang
pintar tanpa kekuatan akan lemah, dan orang kuat tanpa memiliki
pengetahuan akan merusak.
Kita sudah membuktikannya
di republik ini. Indonesia pernah dipimpin oleh seorang intelektual dua
kali dan tidak tahan lama karena tidak memiliki kekutan. Kita pun
pernah dipimpin oleh militer. Memang lama berkuasa akan tetapi negeri
ini menjadi rusak. Juga, kita pernah dipimpin oleh seorang presiden yang
bukan militer dan intelek pun tidak. Maka kita sama-sama menyaksikan
semakin tidak karuannnya negeri ini.
Dalam
sejarah ada seorang pemimpin yang dapat berkuasa secara penuh dalam
rentang waktu yang cukup lama yaitu Firaun. Namanya akan abadi dalam
catatan sejarah manusia. Dan ternyata bahwa Firaun membangun kekutannya
bukan hanya ditopang oleh kekuatan militer yang besar, akan
tetapi dia sendiri merupakan seorang intelektual. Pada saat
meniggalnya, dia memiliki 20.000 koleksi ”buku” di perpustakaannya.
Tentu saja tidak berupa buku seperti yang kita saksiakan sekarang ini,
akan tetapi masih ditulis dalam media tanah liat, kulit kayu, dan kulit
binatang. Jadi, kalau ingin menjadi orang yang sukes sebagai penjahat
jadilah penjahat yang berpengetahuan (white collar crim).
Ia akan bisa memiliki apa pun yang ia inginkan di negeri ini bukan saja
kekayaan akan tetapi juga memiliki kekuasan yang tidak tersentuh oleh
para penegak hukum. Penjahat yang tidak berpengatahuan akan menjadi
penjahat yang malang. Hasil curiannya tidak seberapa, akan tetapi inilah
yang menjadi target buruan penegak hukum. Dan kemudian dieskplotiasi
menjadi komoniditas hiburan yang menarik sebagaimana kita saksikan di
acara-acara televisi.
Informasi
adalah bebas nilai, sebagaimana juga senjata. Sangat tergantung kepada
akhlak orang yang memegangnya. Tapi yang jelas informasi adalah sebuah
kekuatan, atau meminjam istilah Fancis Bacon ”knowledge is power”
adalah sebuah kebenaran yang tidak bisa dibantah. Nabi Muhammad SAW.
Bersabda: ” kalau ingin menguasai dunia dan akhirat milikilah ilmu.”
Literasi Informasi
Wacana literasi informasi (information literacy)
belum begitu populer di Indonesia, walaupun masalah ini bukanlah
masalah baru, karena ” tidak ada yang baru di bawah kolong langit ini”
kata Nabi Sulaiman. Kalau kita coba mencari kata ”literasi informasi”
ini di Google Indonesia, saya yakin
tidak akan lebih dari sepuluh cantuman. Padahal di negara lain litrasi
informasi bukan lagi sebagai wacana akan tetapi sudah menjadi sebuah
kebijakan. Literasi informasi semakin mencuat kepermukaan berbarengan
dengan fenomena buta aksara dan rendahnya minat baca yang sudah menjadi
masalah nasional, sehingga mendapat pemberitaan oleh media massa (media exposure) yang sangat kuat tahun ini.
Literasi informasi sendiri dapat diartikan kemampuan seseorang dalam mencari, mengoleksi, mengevaluasi
atau menginterpreatisakan, menggunkan, dan mengkomunika-sikan informasi
dari berbagai sumber secara efektif. Keahlian ini seharusnya telah
dimiliki oleh orang-orang yang terbiasa dengan dunia tulis-menulis atau
pendidikan yang dimulai semenjak di bangku SMP.Akan tetapi disitulah
letak masalahnya, jangankan murid SMP mahasiswa pun banyak yang belum
memiliki keahlian ini. Padalah tujuan utama dari pendidikan sendiri
adalah bagaimana supaya manusia pandai memberdayakan informasi. Untuk
dapat dikatakan bahwa seseorang telah melek informasi (information literate) paling tidak harus memiliki kemampuan:
- menentukan cakupan informasi yang diperlukan
- mengakses informasi secara efektif
- mengevaluasi informasi dan sumber-sumbernya dengan kritis
- menggunakan informasi sesuai dengan tujuan
Jelas
bahwa dalam dunia pendidikan kemampuan literasi informasi merupakan
yang sangat esensial harus dimiliki oleh setiap peserta didik. Sering
kita mendengar pribahasa yang mengatakan ” jangan beri ikan, berilah
pancingnya”. Kemampuan literasi informasi adalah ”pancing” bagi sang
murid supaya ia dapat belajar mandiri (students’ freedom to learn).
Dengan literasi informasi ini, para peserta didik akan diajarkan pada
sebuah metode untuk menelusri informasi dari berbagai sumber informasi
yang terus berkembang. Penguasaan litrasi informasi perlu segera
dimiliki mengingat tidak akan ada seorang pun pada zaman sekarang ini
yang mampu untuk mengikuti semua informasi yang ada. Beradasarkan
catatan menunjukkan bahwa sekarang ini perkantoran saja menghasilkan 2,7
miliar dokumen pertahun dan satu juta publikasi diterbitkan setiap
tahun.
Oleh karenanya, literasi
informasi adalah merupakan sebuah bekal yang sangat berharga untuk
tercapainya pembelajaran seumur hidup. Mengingat juga, bahwa sekarang
ini kita sedang memasuki era informasi atau ”gelombang ketiga” dalam
peradaban manusia menurut Alvin Toffler. Di mana informasi menjadi
komoditas yang setiap hari diperebutkan dalam pentas pertarungan global
ini. Siapa yang dapat menguasai informasi dialah yang akan bertahan
hidup, dan kuncinya adalah literasi informasi. Literasi informasi adalah
sebuah keniscayaan zaman.
Hambatan dan Jawaban
Landasan yang kokoh untuk menuju literasi informasi atau melek informasi (information literate)
adalah budaya baca masyarakat. Dan budaya baca akan terbentuk manakala
minat baca di masyarakat telah tumbuh dan berkembang. Melihat kenyataan
Indonesia dalam masalah mianat baca mengingatkan kita pada perkataan
Soekarno, ”menjadi koeli bangsa asing di negeri sendiri,” bahkan mungkin
mengingatkan kita sebuah kisah perbudakan bahkan kematian bangsa yang
diakibtkan oleh kebodohan rakyatnya Di bawah ini akan saya nukilkan
sepenggal kekesalan Taufiq Ismail tentang kondisi minat baca Idonesia:
”Mengapa
para penumpang di gerbong kereta api Jakarta-Surabaya tidak membaca
novel, tapi menguap dan tertidur miring? Mengapa di dalam angkot di
Bandung, penumpang tidak membaca kumpulan cerpen, tapi mengisap rokok?
Mengapa di halaman kampus yang berpohon rindang mahasiswa tidak membaca
buku teks kuliahnya, tapi main gaple? Kenapa di kapal Makassar-Banda
Naira penumpang tidak membaca kumpulan buku puisi, tapi main domino?
Kenapa susah mendapat calon pegawai tamatan S-1 yang mampu menulis
proposal yang bagus atau rencana kerja yang baik? Kenapa di ruang tunggu
dokter spesialis penyakit jantung di Manado pengantar pasien tidak
membaca buku drama, tapi asyik main SMS? Mengapa jumlah total pengarang
di Indonesia hanya cocok untuk negara berpenduduk 20 juta, bukan 200
juta?” Itulah sejumlah pertanyaan yang diajukan Taufiq Ismail dalam
sebuah kesempatan.
Pertanyaan
tersebut akan terasa kontras dengan sebuah pernyataan berikut ini: ”
Saya ingin membaca lima judul buku sehari jika tidak terpaksa harus
pergi ke sekolah”. Itulah kata Millie, anak berusia dua belas tahun
warga Amerika . Dia dapat membaca cepat sekali. Dia telah selesai membaca buku Markham Real American Romance sejumlah 13 jilid dalam seminggu.
Jawaban
atas seluruh pertanyaan Taufiq Islmail dan kunci kesukesan Millie tidak
lain adalah: minat baca. Maka kita dapat melihat bahwa jarak minat baca
berbanding lurus dengan jarak kemajuan sebuah bangsa. Bahkan
dapat dikatakan bahwa kunci utama untuk keluar dari kemiskinan dan
menuju menjadi bangsa yang makmur adalah dengan membangkitkan minat baca
masyarakat. Akar kemiskinan, yang menerpa sebagian rakyat Indonesia,
adalah karena masih rendahnya tingkat melek aksara dan sangat payahnya
minat baca seagian besar masyarakat. Padahal kita tidak akan menemukan
sebuah kenyataan di belahan bumi manapun ada orang berilmu dan luas
pengetahuannya tapi hidupnya miskin, kecuali atas dasar pilihan hidup.
”Kalau kalain ingin mengusai dunia dan akhirat kuasailah ilmu,” demikian
sabda Nabi Muhammad.
Kenyataan
menunjukkan pada kita bahwa membaca belum menjadi arus utama
pembangunan di Indonesia. Juga memperlihatkan betapa buruknya kita
menciptakan budaya membaca. Yang berkembang adalah budaya menonton,
dengan cara melompat. Yaitu, kita melompat dari keadaan praliterasi ke
masa pascaliterasi, tanpa melalui masa literasi.
Kita senang menonton televisi, tanpa melalui tahap masyarakat gemar membaca. Dalam
hal ini ada benarnya tesisi pemikiran Neil Postman yang mengatakan
bahwa dunia hiburan dapat membangkrutkan budaya sebuah bangsa, terutama
bangsa dengan tradisi membaca yang lemah. Kondisi itu diperburuk semakin
tidak pedulinya orang tua akan kegiatan membaca. Semakin banyak
keluarga yang kedua orang tuanya sibuk bekerja sehingga mereka tidak
lagi mempunyai cukup waktu dan energi untuk mendekatkan anaknya dengan
buku. Ironisnya, ketika anak mulai masuk sekolah, materi baku kurikulum
sering membuat guru tidak mempunyai ruang gerak untuk berkreasi.
Akhirnya, mereka hanya terpaku pada satu buku wajib.
Masalah minat baca ini akan menjadi malapetaka
bagi bangsa jika tidak segera diatasi bersama. Dan, mengatasinya pun
tidak dengan tambal sulam. Keluarga harus menjadikan membaca sebagai
kegemaran sejak dini. Sekolah harus menerapkan sistem pendidikan yang
menimbulkan kegairahan membaca. Dan pemerintah harus menyediakan dana
cukup bagi perpustakaan serta mendorong tumbuhnya budaya membaca.
Mengapa
minat baca bangsa Indonesia begitu rendah? Untuk menjawab pertanyaan
ini tidaklah mudah. Karena masalah minat baca sudah merupakan problem
sosial, yang memiliki banyak aspek, yang tentu saja memerlukan rekayasa
sosial untuk solusinya. Akan tetapi kalau dilihat secara umum rendahnya minat baca ini diakibatkan oleh dua faktor yaitu faktor kultural dan faktor struktural.
Secara
kultural, menurut Fasli Jalal, masyarakat Indonesia memang tidak
memiliki tradisi membaca sejak jaman nenek moyang. Sebagaimana bisa
ditelusur melalui literatur-literatur yang ada, perilaku membaca
masyarakat Indonesia hampir dapat dikatakan “tidak ada”. Hal ini bisa
dibuktikan dengan tiadanya artefak tulisan dalam jumlah yang banyak.
Artefak tulisan hanya bisa ditemukan pada prasasti-prasasti berbahan
baku batu atau tulisan kuna yang ditorehkan pada daun lontar, kulit
binatang, atau pada kulit kayu. Dengan bahan baku demikian maka
jumlahnya tidak bisa banyak (tidak massal). Situasi ini atau mungkin
juga karena sebab lain, pada hampir seluruh etnis di Indonesia ini
berkembang budaya lisan (folklore). Betapa mudah budaya (bahkan sastra)
lisan bisa ditemukan di segenap penjuru tanah air. Segenap
dongeng-dongen, mitos, fabel, puisi, pantun, petatah-petitih,
peribahasa, syair, dan cerita rakyat dituturkan secara lisan, tanpa ada
naskah tetulisnya. Bahkan ada satu karya budaya bangsa Indonesia yang
hampir sepenuhnya tidak boleh dituliskan, tetapi hanya boleh dihafalkan
ecara lisan, yaitu mantra-mantra. Pada sebagian etnis masyarakat
Indonesia, mantra-matra untuk upacara agama, pengobatan, atau aktivitas
budaya lainnya sangat banyak jenisnya. Hampir semuanya diwariskan
melalui transfer secara lisan. Bahkan memang tidak boleh ditulis,
termasuk direkam menggunakan tape recorder atau audio-vidio recorder.
Dengan situasi budaya lisan ini maka mengembangkan budaya baca
membutuhkan strategi yang khusus.
Masih dalam pandangan kultural. Masyarakat Indonesia mengalami sebuah ”lompatan budaya.” Yaitu dari praliterasi langsung ke pascaliterasi.
Berkembangnya budaya dengar (audio) dan video melalui teknologi
informasi pada abad 19. Dengan hadirnya era teknologi informasi,
masyarakat Indonesia yang baru belajar membaca, telah teralihkan
perhatiannya kepada perilaku budaya pandang dan dengar, yaitu melalui
media televisi dengan berbagai variannya. Dibanding aktivitas membaca,
aktivitas mendengar (radio), dan aktivitas mendengar dan melihat
(televisi, film, VCD dengan berbagai variannya) memang jauh lebih
menarik dan lebih ringan dalam pengeluaran energi. Siuasi budaya dengan
dan lihat ini telah lebih menjauhkan masyarakat Indonesia untuk
berperilaku membaca. Membaca memutuhkan waktu yang khusus, membutuhkan
kesipan indera secara khusus secara terkonsentrasi, dan membutuhkan
prasyarat kemampuan yang relatif rumit (yaitu kemampuan keaksaraan,
kebahasaan, tata bahasa, dan pemaknaan). Kecenderungan masyarakat saat
ini lebih suka menonton TV atau VCD/DVD jika dibandingkan dengan membaca
buku karena hal itu tidak terlepas dengan gencarnya siaran TV swasta
dan TVRI yang menayangkan tontonan yang lebih menarik, ringan, dan
menikmatkan pemirsanya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tayangan
televisi dapat mempengaruhi terhadap rendahnya minat baca. Menonton
TV akan lebih santai karena dapat mengerjakan hal-hal yang ringan
sambil menikmati sajian TV. Siaran TV dan VCD lebih menawarkan berbagai
tayangan yang variatif, mulai dari hiburan, berita ringan, gosip,
hal-hal yang irasionil, sampai berita yang dapat dilihat secara live.
Sedangkan membaca buku lebih cenderung konsentrasi dan tidak dapat
dilakukan sambil mengerjakan sesuatu yang lain. Membaca buku harus lebih
tenang, sabar, dan bahkan dibaca secara perlahan dan berulang-ulang.
Energi yang dibutuhkan untuk membaca lebih besar dibandingkan menonton
TV atau VCD. Hampir semua orang sependapat bahwa nonton TV atau VCD
lebih enak dibandingkan membaca. Alasannya sederhana, nonton TV atau VCD
lebih mudah dan menarik. Itulah sebabnya TV dan VCD berkembang jauh
lebih pesat dibandingkan perkembangan percetakan buku.
Selain
hambatan kultural di atas masih ada faktor-faktor lain seperti faktor
kemiskinan atau rendahnya daya beli, kurikulum yang kurang mendukung
terciptanya budaya baca, daya dukung infrastruktur (seperti
perpustakaan, taman bacaan, harga buku) yang kurang. Ditambah dengan
faktor struktural, yaitu kurangnya kemauan politik (political will)
dari pemerintah untuk sungguh-sungguh meningatkan minat baca
masyarakata. Hal ini bisa kita lihat dari porsi anggaran dalam APBD atau
APBN untuk perpustakaan dan peningkatan minat baca.
Untuk mengatasi masalah minat baca dan lebih lanjut ke masalah literasi informasi dapat digunakan tiga macam strategi, yaitu strategi kekuasaan (power strategy), strategi persuasif (persuasive strategy), dan strategi normatif-reedukatif (normative-reeducative strategy).
Stragegi kekuasaan hanya bisa dilakukan oleh pemerintah. Dengan
kewenangannya dapat mengintruksikan bahkan melakukan mobilisasi
struktural dari tingkat presiden sampai struktur yang paling bawah.
Misalnya dengan mengeluarkan PP, Kepres, sampai Perda tentang
peningkatan minat baca. Di sini juga didukung dengan undang-undang
tentang perpustakaan, yang sekarang ini sedang dibahas di DPR. Strategi
kekuasaan akan lebih efektif digunakan karena bersifat memaksa semua
elemen pemerintahan untuk beraksi. Juga, mengingat budaya masyarakat
”menunggu perintah dari atasan” yang masih melekat.
Dalam
menggunakan strategi persuasif, media massa memiliki peranan yang
besar. Karena, pada umumnya strategi persuasif dijalankan melalui
pembentukan opini publik dan pandangan masyarakat yang tidak lain
melalui media massa (buku, koran, majalah, TV, Internet).
Usaha persuasif ini telah dilakukan dengan menayangkan iklan layanan
masyarakat di banyak stasiun TV yang disampaikan oleh para selebritis.
Dan pada tahun ini juga dipilih Tantowi Yahya sebagai Duta Baca
Indonesia. Mengingat rakyat Indonesia yang berada dalam kubangan ”budaya
nonton,” diharpkan dengan ditampilkannya para selebriti mereka akan
terbujuk. Memang sekarang ini para selebritis sedang laku dijadikan duta
apa saja, termasuk duta Iptek pun diberikan pada selebritis. Karena
sebagian masyarakat Indonesia sulit membedakan mana yang menarik dan
mana yang benar.
Dan yang ketiga adalah strategi normatif-reedukatif (normative-reeducative). Normative adalah kata sifat dari norm
(norma) yang berarti aturan yang berlaku di masyarakat. Posisi kunci
norma-norma sosial dalam kehidupan bermasyarakat Indonesia telah diakui
secara luas oleh hampir semua imuwan sosial. Norma termasyaraktkan
melalui education (pendidikan). Oleh karena itu, strategi normatif ini umumnya digandengkan dengan upaya reeducation
(pendidikan-ulang) untuk menanamkan dan mengganti paradigma berpikir
masyarakat yang lama dengan yang baru. Dan lembaga yang paling tepat
untuk hal ini adalah lembaga pendidikan.
Menarik
sekali membaca pengalaman Malaysia dalam menerapakan kebijakan literasi
informasi di sekolah. Mohd Sharif Mohd Saad, staf pengajar Fakultas
Manajemen Informasi MARA, menuturkan bahwa linerasi informasi menjadi pendorong utama terciptanya personal empowerment dan student’ freedom to learn.
Ketika para murid mengetahui bagaimana cara menemukan dan menerapkan
informasi, mereka dapat belajar sendiri apa yang mereka perlukan untuk
belajar dan yang paling penting mereka dapat mempelajari bagaimana
seharusnya belajar. Dengan literasi informasi ini memungkinkan mereka
untuk menjadi pembelajar seumur hidup dan menjadi warga negara yang
berguna dalam sebuah masyarakat yang sedang berubah. Salah satu prinsip
dasar yang tertera dalam The Malaysian Smart School Conceptual Blueprint
adalah para siswa dapat belajar memproses dan memanipulasi informasi,
dan mereka pun dilatih untuk berpikir kritis. Beliau juga mengatakan
bahwa semua sekolah di Malaysia dilengkapi dengan resources centre (perpustakaan
sekolah) untuk menunjang proses belajar mengajar. Perpustakaan sekolah
ini dikelola secara profesional oleh guru-pustakawan. Melalui
pustakawan-guru inilah resources centre
menjadi bagian yang terintegrasi dengan kurikulum sekolah. Mentri
Pendidikannya pun mengatakan bahwa perpustakaan sekolah merupakan bagian
yang sangat penting untuk merealisasikan strategi jangka pendek dan
jangka panjang untuk literasi, edukasi, dan pembelajaran seumur hidup
dan mencetak para siswa untuk menjadi pemikir yang kritis dan menjadi
pengguna perpustakaan dan informasi yang efektif.
Penutup
Informasi sangat penting dalam peradaban manusia,
tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Tanpa penguasaan informasi
kehidupan sesorang, organisasi, atau bangsa akan tergilas oleh roda
zaman yang kian cepat bergerak. Eksistensi bangsa kita sangat ditentukan
oleh tingkat penguasaan informasi. Keterampilan menelusuri,
mengevalusi, mengeinterpretasikan, dan mengaplikasikan informasi—yang
kita sebut dengan literasi informasi—adalah sebuah keniscayaan. Sekangan
ini di hadapan kita semua hanya tersedia dua pilihan: literasi
informasi atau mati. Sebab hidup ini, kata Chairil Anwar, ”sekali
berarti setelah itu mati.”
Daftar Pustaka
Aldin, Alfathri. ”Praliterasi, Literasi, dan Posliterasi” dalam Pikiran Rakyat 18 Desember 2006.
Irawati, Indira dan Firdini. Penguasaan Information Literacy Mahasiswa Program Studi Ilmu Perpustakaan FIB UI Dalam Penulisan Skripsi. Paper di disampaiakn pada Seminar Ikatan Pustakawan Indonesia tanggal 14 November 2006 di Bali.
Jalal, Fasli. Peran Pendidikan Luar Sekolah dalam Pembangunan SDM dan Pemasyarakatan Budaya Baca. Makalah disampaikan
pada Seminar sehari dan Musyawarah Nasional Ke II Gerakan
Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB), di Ball Room Century Park Hotel,
Jakarta, 1 Maret 2005.
Kamah, Idris. Pedoman Minat Baca. Perpustakaan Nasional RI, 2002
Mohd Saad, Mohd Sharif. Information Literacy in Malaysia: Trens, development and challenges. Paper disampaiakn pada Seminar Ikatan Pustakawan Indonesia tanggal 14 November 2006 di Bali.
Rakhmat, Jalaluddin. Rekayasa Sosial: Reformasi, revolusi, atau manusia besar?. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !