Headlines News :
Home » » kekuatan informasi: disadur dari masyarakat literasi indonesia

kekuatan informasi: disadur dari masyarakat literasi indonesia

Written By riki on Sunday, September 23, 2012 | 9/23/2012 04:24:00 AM

KEKUATAN INFORMASI:

Dari Preliteracy ke Postliteracy*
Sejarah membuktikan bahwa maju tidaknya peradaban sebuah bangsa sangat ditentukan oleh tingkat penguasaan informasinya. Legitimasi historis ini dapat kita rasakan bukan hanya dalam level organisasi besar seperti negara tetapi juga dalam level individual. Hingga hari ini kita menyaksikan bahwa negara yang dikategorikan negara maju adalah negara-negara yang menguasai informasi berikut teknologinya. Dalam level individual, seseorang yang memiliki banyak informasi atau pengetahuan akan menjadi orang yang penuh dinamika dan kreativitas serta ia akan menjadi opinion leader di masyarakatnya. Hukum besi kehidupan ini akan berlaku di sepanjang umur sejarah manusia yang membentang dari zaman praliterasi (preliteracy) sampai pascaliterasi (postliteracy). Zaman praliterasi adalah sebuah zaman dimana komunikasi sosial masyarakatnya masih berada dalam tradisi lisan dan sulit mengakses sumber informasi. Kalaupun ada, mereka tidak bisa mencernanya dengan baik. Zaman literasi mewakili masyarakat terdidik yang ditandai dengan tumbuh suburnya institusi pendidikan dan banyaknya didirkan pusat-pusat informasi. Akan tetapi, walaupun memiliki akses yang luas terhadap sumber-sumber informasi, tidak berarti tradisi baca-tulis tumbuh subur di kalangan ini. Sedangkan pascaliterasi ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi untuk memproduksi informasi digital dan pengelolaan citra bergerak yang kompleks, seperti yang kita saksikan sekrang ini terutama di kota-kota besar.

Isyarat Masa Lalu

Dalam sebuah cerita rakyat, legenda, pewayangan atau cerita-cerita kepahlawanan (epos), yang tumbuh subur di zaman praliterasi, selalu ada dua jenis pusaka yang dijadikan bahan rebutan oleh para jawara atau dua kubu yang berhadap-hadapan. Pusaka tersebut kalau tidak berupa kitab atau buku, pasti berupa senjata. Ini adalah sebuah pesan historis yang kalau ditafsirkan bisa diartikan bahwa perubahan di dunia ini bisa terjadi oleh dua kekuatan yaitu kekuatan intelektual (yang disimbolkan dengan buku) dan yang kedua adalah kekuatan militer (yang disimbolkan dengan senjata). Perubahan akan berjalan serasi apabila ada sinergi di antara keduanya yaitu adanya sinergi atara kepintara dan kekuatan. Orang pintar tanpa kekuatan akan lemah, dan orang kuat tanpa memiliki pengetahuan akan merusak.
Kita sudah membuktikannya di republik ini. Indonesia pernah dipimpin oleh seorang intelektual dua kali dan tidak tahan lama karena tidak memiliki kekutan. Kita pun pernah dipimpin oleh militer. Memang lama berkuasa akan tetapi negeri ini menjadi rusak. Juga, kita pernah dipimpin oleh seorang presiden yang bukan militer dan intelek pun tidak. Maka kita sama-sama menyaksikan semakin tidak karuannnya negeri ini.
Dalam sejarah ada seorang pemimpin yang dapat berkuasa secara penuh dalam rentang waktu yang cukup lama yaitu Firaun. Namanya akan abadi dalam catatan sejarah manusia. Dan ternyata bahwa Firaun membangun kekutannya bukan hanya ditopang oleh kekuatan militer yang besar, akan tetapi dia sendiri merupakan seorang intelektual. Pada saat meniggalnya, dia memiliki 20.000 koleksi ”buku” di perpustakaannya. Tentu saja tidak berupa buku seperti yang kita saksiakan sekarang ini, akan tetapi masih ditulis dalam media tanah liat, kulit kayu, dan kulit binatang. Jadi, kalau ingin menjadi orang yang sukes sebagai penjahat jadilah penjahat yang berpengetahuan (white collar crim). Ia akan bisa memiliki apa pun yang ia inginkan di negeri ini bukan saja kekayaan akan tetapi juga memiliki kekuasan yang tidak tersentuh oleh para penegak hukum. Penjahat yang tidak berpengatahuan akan menjadi penjahat yang malang. Hasil curiannya tidak seberapa, akan tetapi inilah yang menjadi target buruan penegak hukum. Dan kemudian dieskplotiasi menjadi komoniditas hiburan yang menarik sebagaimana kita saksikan di acara-acara televisi.
Informasi adalah bebas nilai, sebagaimana juga senjata. Sangat tergantung kepada akhlak orang yang memegangnya. Tapi yang jelas informasi adalah sebuah kekuatan, atau meminjam istilah Fancis Bacon ”knowledge is power” adalah sebuah kebenaran yang tidak bisa dibantah. Nabi Muhammad SAW. Bersabda: ” kalau ingin menguasai dunia dan akhirat milikilah ilmu.”


Literasi Informasi
Wacana literasi informasi (information literacy) belum begitu populer di Indonesia, walaupun masalah ini bukanlah masalah baru, karena ” tidak ada yang baru di bawah kolong langit ini” kata Nabi Sulaiman. Kalau kita coba mencari kata ”literasi informasi” ini di Google Indonesia, saya yakin tidak akan lebih dari sepuluh cantuman. Padahal di negara lain litrasi informasi bukan lagi sebagai wacana akan tetapi sudah menjadi sebuah kebijakan. Literasi informasi semakin mencuat kepermukaan berbarengan dengan fenomena buta aksara dan rendahnya minat baca yang sudah menjadi masalah nasional, sehingga mendapat pemberitaan oleh media massa (media exposure) yang sangat kuat tahun ini.
Literasi informasi sendiri dapat diartikan kemampuan seseorang dalam mencari, mengoleksi, mengevaluasi atau menginterpreatisakan, menggunkan, dan mengkomunika-sikan informasi dari berbagai sumber secara efektif. Keahlian ini seharusnya telah dimiliki oleh orang-orang yang terbiasa dengan dunia tulis-menulis atau pendidikan yang dimulai semenjak di bangku SMP.Akan tetapi disitulah letak masalahnya, jangankan murid SMP mahasiswa pun banyak yang belum memiliki keahlian ini. Padalah tujuan utama dari pendidikan sendiri adalah bagaimana supaya manusia pandai memberdayakan informasi. Untuk dapat dikatakan bahwa seseorang telah melek informasi (information literate) paling tidak harus memiliki kemampuan:
  • menentukan cakupan informasi yang diperlukan
  • mengakses informasi secara efektif
  • mengevaluasi informasi dan sumber-sumbernya dengan kritis
  • menggunakan informasi sesuai dengan tujuan
Jelas bahwa dalam dunia pendidikan kemampuan literasi informasi merupakan yang sangat esensial harus dimiliki oleh setiap peserta didik. Sering kita mendengar pribahasa yang mengatakan ” jangan beri ikan, berilah pancingnya”. Kemampuan literasi informasi adalah ”pancing” bagi sang murid supaya ia dapat belajar mandiri (students’ freedom to learn). Dengan literasi informasi ini, para peserta didik akan diajarkan pada sebuah metode untuk menelusri informasi dari berbagai sumber informasi yang terus berkembang. Penguasaan litrasi informasi perlu segera dimiliki mengingat tidak akan ada seorang pun pada zaman sekarang ini yang mampu untuk mengikuti semua informasi yang ada. Beradasarkan catatan menunjukkan bahwa sekarang ini perkantoran saja menghasilkan 2,7 miliar dokumen pertahun dan satu juta publikasi diterbitkan setiap tahun.
Oleh karenanya, literasi informasi adalah merupakan sebuah bekal yang sangat berharga untuk tercapainya pembelajaran seumur hidup. Mengingat juga, bahwa sekarang ini kita sedang memasuki era informasi atau ”gelombang ketiga” dalam peradaban manusia menurut Alvin Toffler. Di mana informasi menjadi komoditas yang setiap hari diperebutkan dalam pentas pertarungan global ini. Siapa yang dapat menguasai informasi dialah yang akan bertahan hidup, dan kuncinya adalah literasi informasi. Literasi informasi adalah sebuah keniscayaan zaman.


Hambatan dan Jawaban
Landasan yang kokoh untuk menuju literasi informasi atau melek informasi (information literate) adalah budaya baca masyarakat. Dan budaya baca akan terbentuk manakala minat baca di masyarakat telah tumbuh dan berkembang. Melihat kenyataan Indonesia dalam masalah mianat baca mengingatkan kita pada perkataan Soekarno, ”menjadi koeli bangsa asing di negeri sendiri,” bahkan mungkin mengingatkan kita sebuah kisah perbudakan bahkan kematian bangsa yang diakibtkan oleh kebodohan rakyatnya Di bawah ini akan saya nukilkan sepenggal kekesalan Taufiq Ismail tentang kondisi minat baca Idonesia:
”Mengapa para penumpang di gerbong kereta api Jakarta-Surabaya tidak membaca novel, tapi menguap dan tertidur miring? Mengapa di dalam angkot di Bandung, penumpang tidak membaca kumpulan cerpen, tapi mengisap rokok? Mengapa di halaman kampus yang berpohon rindang mahasiswa tidak membaca buku teks kuliahnya, tapi main gaple? Kenapa di kapal Makassar-Banda Naira penumpang tidak membaca kumpulan buku puisi, tapi main domino? Kenapa susah mendapat calon pegawai tamatan S-1 yang mampu menulis proposal yang bagus atau rencana kerja yang baik? Kenapa di ruang tunggu dokter spesialis penyakit jantung di Manado pengantar pasien tidak membaca buku drama, tapi asyik main SMS? Mengapa jumlah total pengarang di Indonesia hanya cocok untuk negara berpenduduk 20 juta, bukan 200 juta?” Itulah sejumlah pertanyaan yang diajukan Taufiq Ismail dalam sebuah kesempatan.
Pertanyaan tersebut akan terasa kontras dengan sebuah pernyataan berikut ini: ” Saya ingin membaca lima judul buku sehari jika tidak terpaksa harus pergi ke sekolah”. Itulah kata Millie, anak berusia dua belas tahun warga Amerika . Dia dapat membaca cepat sekali. Dia telah selesai membaca buku Markham Real American Romance sejumlah 13 jilid dalam seminggu.
Jawaban atas seluruh pertanyaan Taufiq Islmail dan kunci kesukesan Millie tidak lain adalah: minat baca. Maka kita dapat melihat bahwa jarak minat baca berbanding lurus dengan jarak kemajuan sebuah bangsa. Bahkan dapat dikatakan bahwa kunci utama untuk keluar dari kemiskinan dan menuju menjadi bangsa yang makmur adalah dengan membangkitkan minat baca masyarakat. Akar kemiskinan, yang menerpa sebagian rakyat Indonesia, adalah karena masih rendahnya tingkat melek aksara dan sangat payahnya minat baca seagian besar masyarakat. Padahal kita tidak akan menemukan sebuah kenyataan di belahan bumi manapun ada orang berilmu dan luas pengetahuannya tapi hidupnya miskin, kecuali atas dasar pilihan hidup. ”Kalau kalain ingin mengusai dunia dan akhirat kuasailah ilmu,” demikian sabda Nabi Muhammad.
Kenyataan menunjukkan pada kita bahwa membaca belum menjadi arus utama pembangunan di Indonesia. Juga memperlihatkan betapa buruknya kita menciptakan budaya membaca. Yang berkembang adalah budaya menonton, dengan cara melompat. Yaitu, kita melompat dari keadaan praliterasi ke masa pascaliterasi, tanpa melalui masa literasi.
Kita senang menonton televisi, tanpa melalui tahap masyarakat gemar membaca. Dalam hal ini ada benarnya tesisi pemikiran Neil Postman yang mengatakan bahwa dunia hiburan dapat membangkrutkan budaya sebuah bangsa, terutama bangsa dengan tradisi membaca yang lemah. Kondisi itu diperburuk semakin tidak pedulinya orang tua akan kegiatan membaca. Semakin banyak keluarga yang kedua orang tuanya sibuk bekerja sehingga mereka tidak lagi mempunyai cukup waktu dan energi untuk mendekatkan anaknya dengan buku. Ironisnya, ketika anak mulai masuk sekolah, materi baku kurikulum sering membuat guru tidak mempunyai ruang gerak untuk berkreasi. Akhirnya, mereka hanya terpaku pada satu buku wajib.
Masalah minat baca ini akan menjadi malapetaka bagi bangsa jika tidak segera diatasi bersama. Dan, mengatasinya pun tidak dengan tambal sulam. Keluarga harus menjadikan membaca sebagai kegemaran sejak dini. Sekolah harus menerapkan sistem pendidikan yang menimbulkan kegairahan membaca. Dan pemerintah harus menyediakan dana cukup bagi perpustakaan serta mendorong tumbuhnya budaya membaca.
Mengapa minat baca bangsa Indonesia begitu rendah? Untuk menjawab pertanyaan ini tidaklah mudah. Karena masalah minat baca sudah merupakan problem sosial, yang memiliki banyak aspek, yang tentu saja memerlukan rekayasa sosial untuk solusinya. Akan tetapi kalau dilihat secara umum rendahnya minat baca ini diakibatkan oleh dua faktor yaitu faktor kultural dan faktor struktural.


Secara kultural, menurut Fasli Jalal, masyarakat Indonesia memang tidak memiliki tradisi membaca sejak jaman nenek moyang. Sebagaimana bisa ditelusur melalui literatur-literatur yang ada, perilaku membaca masyarakat Indonesia hampir dapat dikatakan “tidak ada”. Hal ini bisa dibuktikan dengan tiadanya artefak tulisan dalam jumlah yang banyak. Artefak tulisan hanya bisa ditemukan pada prasasti-prasasti berbahan baku batu atau tulisan kuna yang ditorehkan pada daun lontar, kulit binatang, atau pada kulit kayu. Dengan bahan baku demikian maka jumlahnya tidak bisa banyak (tidak massal). Situasi ini atau mungkin juga karena sebab lain, pada hampir seluruh etnis di Indonesia ini berkembang budaya lisan (folklore). Betapa mudah budaya (bahkan sastra) lisan bisa ditemukan di segenap penjuru tanah air. Segenap dongeng-dongen, mitos, fabel, puisi, pantun, petatah-petitih, peribahasa, syair, dan cerita rakyat dituturkan secara lisan, tanpa ada naskah tetulisnya. Bahkan ada satu karya budaya bangsa Indonesia yang hampir sepenuhnya tidak boleh dituliskan, tetapi hanya boleh dihafalkan ecara lisan, yaitu mantra-mantra. Pada sebagian etnis masyarakat Indonesia, mantra-matra untuk upacara agama, pengobatan, atau aktivitas budaya lainnya sangat banyak jenisnya. Hampir semuanya diwariskan melalui transfer secara lisan. Bahkan memang tidak boleh ditulis, termasuk direkam menggunakan tape recorder atau audio-vidio recorder. Dengan situasi budaya lisan ini maka mengembangkan budaya baca membutuhkan strategi yang khusus.
Masih dalam pandangan kultural. Masyarakat Indonesia mengalami sebuah ”lompatan budaya.” Yaitu dari praliterasi langsung ke pascaliterasi. Berkembangnya budaya dengar (audio) dan video melalui teknologi informasi pada abad 19. Dengan hadirnya era teknologi informasi, masyarakat Indonesia yang baru belajar membaca, telah teralihkan perhatiannya kepada perilaku budaya pandang dan dengar, yaitu melalui media televisi dengan berbagai variannya. Dibanding aktivitas membaca, aktivitas mendengar (radio), dan aktivitas mendengar dan melihat  (televisi, film, VCD dengan berbagai variannya) memang jauh lebih menarik dan lebih ringan dalam pengeluaran energi. Siuasi budaya dengan dan lihat ini telah lebih menjauhkan masyarakat Indonesia untuk berperilaku membaca. Membaca memutuhkan waktu yang khusus, membutuhkan kesipan indera secara khusus secara terkonsentrasi, dan membutuhkan prasyarat kemampuan yang relatif rumit (yaitu kemampuan keaksaraan, kebahasaan, tata bahasa, dan pemaknaan). Kecenderungan masyarakat saat ini lebih suka menonton TV atau VCD/DVD jika dibandingkan dengan membaca buku karena hal itu tidak terlepas dengan gencarnya siaran TV swasta dan TVRI yang menayangkan tontonan yang lebih menarik, ringan, dan menikmatkan pemirsanya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tayangan televisi dapat mempengaruhi terhadap rendahnya minat baca. Menonton TV akan lebih santai karena dapat mengerjakan hal-hal yang ringan sambil menikmati sajian TV. Siaran TV dan VCD lebih menawarkan berbagai tayangan yang variatif, mulai dari hiburan, berita ringan, gosip, hal-hal yang irasionil, sampai berita yang dapat dilihat secara live. Sedangkan membaca buku lebih cenderung konsentrasi dan tidak dapat dilakukan sambil mengerjakan sesuatu yang lain. Membaca buku harus lebih tenang, sabar, dan bahkan dibaca secara perlahan dan berulang-ulang. Energi yang dibutuhkan untuk membaca lebih besar dibandingkan menonton TV atau VCD. Hampir semua orang sependapat bahwa nonton TV atau VCD lebih enak dibandingkan membaca. Alasannya sederhana, nonton TV atau VCD lebih mudah dan menarik. Itulah sebabnya TV dan VCD berkembang jauh lebih pesat dibandingkan perkembangan percetakan buku.
Selain hambatan kultural di atas masih ada faktor-faktor lain seperti faktor kemiskinan atau rendahnya daya beli, kurikulum yang kurang mendukung terciptanya budaya baca, daya dukung infrastruktur (seperti perpustakaan, taman bacaan, harga buku) yang kurang. Ditambah dengan faktor struktural, yaitu kurangnya kemauan politik (political will) dari pemerintah untuk sungguh-sungguh meningatkan minat baca masyarakata. Hal ini bisa kita lihat dari porsi anggaran dalam APBD atau APBN untuk perpustakaan dan peningkatan minat baca.
Untuk mengatasi masalah minat baca dan lebih lanjut ke masalah literasi informasi dapat digunakan tiga macam strategi, yaitu strategi kekuasaan (power strategy), strategi persuasif (persuasive strategy), dan strategi normatif-reedukatif (normative-reeducative strategy). Stragegi kekuasaan hanya bisa dilakukan oleh pemerintah. Dengan kewenangannya dapat mengintruksikan bahkan melakukan mobilisasi struktural dari tingkat presiden sampai struktur yang paling bawah. Misalnya dengan mengeluarkan PP, Kepres, sampai Perda tentang peningkatan minat baca. Di sini juga didukung dengan undang-undang tentang perpustakaan, yang sekarang ini sedang dibahas di DPR. Strategi kekuasaan akan lebih efektif digunakan karena bersifat memaksa semua elemen pemerintahan untuk beraksi. Juga, mengingat budaya masyarakat ”menunggu perintah dari atasan” yang masih melekat.
Dalam menggunakan strategi persuasif, media massa memiliki peranan yang besar. Karena, pada umumnya strategi persuasif dijalankan melalui pembentukan opini publik dan pandangan masyarakat yang tidak lain melalui media massa (buku, koran, majalah, TV, Internet). Usaha persuasif ini telah dilakukan dengan menayangkan iklan layanan masyarakat di banyak stasiun TV yang disampaikan oleh para selebritis. Dan pada tahun ini juga dipilih Tantowi Yahya sebagai Duta Baca Indonesia. Mengingat rakyat Indonesia yang berada dalam kubangan ”budaya nonton,” diharpkan dengan ditampilkannya para selebriti mereka akan terbujuk. Memang sekarang ini para selebritis sedang laku dijadikan duta apa saja, termasuk duta Iptek pun diberikan pada selebritis. Karena sebagian masyarakat Indonesia sulit membedakan mana yang menarik dan mana yang benar.
Dan yang ketiga adalah strategi normatif-reedukatif (normative-reeducative). Normative adalah kata sifat dari norm (norma) yang berarti aturan yang berlaku di masyarakat. Posisi kunci norma-norma sosial dalam kehidupan bermasyarakat Indonesia telah diakui secara luas oleh hampir semua imuwan sosial. Norma termasyaraktkan melalui education (pendidikan). Oleh karena itu, strategi normatif ini umumnya digandengkan dengan upaya reeducation (pendidikan-ulang) untuk menanamkan dan mengganti paradigma berpikir masyarakat yang lama dengan yang baru. Dan lembaga yang paling tepat untuk hal ini adalah lembaga pendidikan.


Menarik sekali membaca pengalaman Malaysia dalam menerapakan kebijakan literasi informasi di sekolah. Mohd Sharif Mohd Saad, staf pengajar Fakultas Manajemen Informasi MARA, menuturkan bahwa linerasi informasi menjadi pendorong utama terciptanya personal empowerment dan student’ freedom to learn. Ketika para murid mengetahui bagaimana cara menemukan dan menerapkan informasi, mereka dapat belajar sendiri apa yang mereka perlukan untuk belajar dan yang paling penting mereka dapat mempelajari bagaimana seharusnya belajar. Dengan literasi informasi ini memungkinkan mereka untuk menjadi pembelajar seumur hidup dan menjadi warga negara yang berguna dalam sebuah masyarakat yang sedang berubah. Salah satu prinsip dasar yang tertera dalam The Malaysian Smart School Conceptual Blueprint adalah para siswa dapat belajar memproses dan memanipulasi informasi, dan mereka pun dilatih untuk berpikir kritis. Beliau juga mengatakan bahwa semua sekolah di Malaysia dilengkapi dengan resources centre (perpustakaan sekolah) untuk menunjang proses belajar mengajar. Perpustakaan sekolah ini dikelola secara profesional oleh guru-pustakawan. Melalui pustakawan-guru inilah resources centre menjadi bagian yang terintegrasi dengan kurikulum sekolah. Mentri Pendidikannya pun mengatakan bahwa perpustakaan sekolah merupakan bagian yang sangat penting untuk merealisasikan strategi jangka pendek dan jangka panjang untuk literasi, edukasi, dan pembelajaran seumur hidup dan mencetak para siswa untuk menjadi pemikir yang kritis dan menjadi pengguna perpustakaan dan informasi yang efektif.

Penutup
Informasi sangat penting dalam peradaban manusia, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Tanpa penguasaan informasi kehidupan sesorang, organisasi, atau bangsa akan tergilas oleh roda zaman yang kian cepat bergerak. Eksistensi bangsa kita sangat ditentukan oleh tingkat penguasaan informasi. Keterampilan menelusuri, mengevalusi, mengeinterpretasikan, dan mengaplikasikan informasi—yang kita sebut dengan literasi informasi—adalah sebuah keniscayaan. Sekangan ini di hadapan kita semua hanya tersedia dua pilihan: literasi informasi atau mati. Sebab hidup ini, kata Chairil Anwar, ”sekali berarti setelah itu mati.”

Daftar Pustaka
Aldin, Alfathri. ”Praliterasi, Literasi, dan Posliterasi” dalam Pikiran Rakyat 18 Desember 2006.
Irawati, Indira dan Firdini. Penguasaan Information Literacy Mahasiswa Program Studi Ilmu Perpustakaan FIB UI Dalam Penulisan Skripsi. Paper di disampaiakn pada Seminar Ikatan Pustakawan Indonesia tanggal 14 November 2006 di Bali.
Jalal, Fasli. Peran Pendidikan Luar Sekolah dalam Pembangunan SDM dan Pemasyarakatan Budaya Baca. Makalah disampaikan pada  Seminar sehari dan Musyawarah Nasional Ke II Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB), di Ball Room Century Park Hotel, Jakarta, 1 Maret 2005.
Kamah, Idris. Pedoman Minat Baca. Perpustakaan Nasional RI, 2002
Mohd Saad, Mohd Sharif. Information Literacy in Malaysia: Trens, development and challenges. Paper disampaiakn pada Seminar Ikatan Pustakawan Indonesia tanggal 14 November 2006 di Bali.
Rakhmat, Jalaluddin. Rekayasa Sosial: Reformasi, revolusi, atau manusia besar?. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Blogger templates

 
Support : Creating Website | Riki Arianto | Copyright#Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Ruang Menulis dan Campur Sari - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template