Oleh:Riki Arianto
Rumah berpagar besi yang dijadikan kantor sekretariat Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau berada di tengah kota Pekanbaru namun lokasinya cukup tersembunyi. Di jalan
Katio nomor tiga berdekatan dengan
perumahan Bahana dan Madrasah Aliah Negri (MAN) 1 Pekanbaru . Di pekarangan rumahn terdapat empat pohon yang
cukup rindang, dari ke empatnya, pohon manggalah yang paling rendah namun tidak
berbuah-karena belum musimnya. Di dalam rumah ada beberapa ruangan yang warna
berbeda, pada ruang tamu berwarna hijau, ruang tengah dekat dengan Televisi
berwarna putih, ruang rapat merupakan ruang terbesar di rumah ini-ruang ini
berwarna cream- meja rapat berwarna
hitam disusun membentuk persegi panjang. Rumah inilah yang dijadikan tempat pelatihan
penulisan narasi yang diselenggarakan oleh Forum Pers Mahasiswa (Fopersma) Riau dan Alumni Narasi Kelompok Kerja (Pokja)
Riau yang dimulai 30 Januari-3 Februari 2013.
Hari itu , 31 Januari 2012, merupakan hari kedua dari acara
tersebut. Peserta yang mengikuti workshop bertema “lancang kuning berlayar
narasi “ sebenarnya berjumlah 22 orang namun
yang hadir hanya 18 orang. Saya- salah
satu peserta itu. Pada hari itu juga semua peserta diberikan tugas untuk
membuat tulisan dari hasil wawancara dalam bentuk bercerita layaknya sebuah
karangan deskriptif. Tugas ini diberikan
sore hari setelah berdiskusi panjang
dengan Anugerah Perkasa-seorang reporter untuk harian Bisnis Indonesia,
menulis korupsi, komflik sumber daya alam.
Malamnya , sekitar pukul
21:00 WIB saya menemui Eko
Kurniawan, seorang peserta workshop asal
Sumatera Barat yang kini kuliah di Universitas Andalas (Unand) jurusan
Hukum Administrasi Negara sejak 2007 silam. Eko aktif diorganisasi Pers
Mahasiswa Gema Justicia Fakultas Hukum Unand sejak 2009. Saat saya
menghampirinya, Eko sedang asyik bermain
laptop membaca situs berita Ganto milik Lembaga Pers Mahasiswa Ganto
Universitas Negeri Padang. Kemudian saya
mengajaknya untuk mengerjakan tugas yang
diberikan oleh Mas Nugi -sapaan akrab Anugerah Perkasa.
Kamipun keluar mencari tempat yang jauh dari keramaian
peserta workshop. Teras rumahlah yang
kami pilih, saat itu ada Tahnia Dwi Sari-peserta workshop dari Lembaga Pers
Mahasiswa (LPM) Aklamasi Universitas Islam Riau sedang mewanwancarai Umi
Khoiriyah-salah satu peserta workshop juga. Kami duduk tak jauh dari mereka. Saling berhadapan, namun saya duduk dilantai
bersandar pada tiang tengah dan agak menghadap kearah pagar. Langit terlihat gelap, hembusan angin sepoy menerpa dedaunan pada batang pohon di
pekarangan meski tak terlihat jelas karena dibatasi jarak pandang suasana
malam. Kami berbagi tugas, untuk pertama
saya bertindak sebagai narasumber dan Eko mewawancarai saya. Eko mulai dengan
pertanyaan tentang sejarah tabloid visi dan
beberapa pertanyaan lain yang berkaitan dengan Visi, kemudian Eko menanyakan
saya tentang Fopersma dan sejarahnya. Terakhir dia menanyakan harapan saya
terhadap Fopersma dan visi.
Kemudian tibalah giliranku untuk betindak sebagai
pewawancara. Sambil memegang pulpen dan blocknote seolah bersiap menulis seuatu,
aku mulai mewawancarainya.
Eko Kurniawan lahir
dari pasangan Jasrial dan Eni. Ia merupakan anak pertama dari empat saudara.
Pria yang berkulit putih dan tinggi 158 sentimeter ini memiliki jenggot tipis
di dagunya. Tubunhya terlihat agak kurus, kuku-kuku di jarinya terlihat rusak
hal ini disebabkan jarinya terjepit pintu dan kuku yang lainnya terlihat sama. Eko
memilki rambut yang pendek dan lurus. Malam itu ia menganakan baju kaos biru
bertuliskan PSPS di punggungnya. Terdapat dua gelang yang melingkar di tangan
kirinya, satu warna hitam sedangkang yang satunya lagi berwarna putih dan
terbuat dari sejenis cangkang kerang. Pena hitam merek standar AE7 ALFA TIP 0.5
dipegang ditangannya. Ketika menjawab pertanyaan, pena ini selalu terlihat
diputar-putar, suaranya juga sedikit
terbata.
Menjadi seorang jurnalis yang meliput olah raga itulah
cita-citanya. “wartwan pekerjaan yang mulia, saya tertarik menjadi wartawan
olahraga sebab hobi main bola”, ungkapnya. Rumah –tempat tinggalnya sekarang
hanya berjarak sekitar 100 meter dari stadion Agus Salim-stadion kebanggan
masyarakat Sumatera Barat-markasnya Persatuan Sepak Bola Semen Padang. Hal inilah
yang membuatnya semakin ingin menjadi wartawan olahraga. Eko tak banyak
bicara,ia selalu sibuk dengan kegiatannya sendiri apa lagi kalau sudah didepan laptop. Ketika di depan laptop dia hanya menjawab
pertanyaan ku seperlunya saja. Orang tua
Eko hanyalah seorang karyawan PT KAI di Padang-perusahaan Kereta Api. Ia tak
banyak cerita tentang keluarganya.
Juni 2012 lalu terjadi keributan antara Fakultas Ilmu Sosial
Politik (FISIP) dan Fakultas Peternakan di Unand. Eko terjun langsung meliput
peristiwa ini sehingga dia tahu persis apa yang terjadi.
“Suara desingan senapan yang ditembakan polisi
terdengar jelas saat itu !” ujanya
sambil merubah posisi duduk. Fakultas Hukum tempatnya kuliah berdekatan dengan FISIP sehingga Eko bisa
mendapatkan informasi dengan cepat dari kejadian itu.
Eko bercerita banyak tentang pengalamannya sejak bergabung
di LPM Gema Justicia. Sudah dua tahun ia menjabat sebagai dewan redaksi, posisi
pimpinan redaksipun pernah ia rasakan pada tahun 2010 lalu. Eko juga bercerita
tentang kisah asmaranya. Ia mengaku hingga kini belum pernah pacaran. Dulu ia
sempat naksir seorang wanita, Eko tak mau mengatakan siapa wanita yang
disukainya. “ketika ku nembak cewek itu,aku ditolak karean udah keduluan orang”. Ujarnya malu-malu.
Selain menulis, Eko juga memilki hobi yang unik yaitu
mengoleksi perangko. Hobi ini ia geluti sejak 2007 silam. Hingga kini Eko telah mengumpulkan lebih 50 perangko,
perangko yang paling disukainya adalah perangko bergambar hewan, terutama
orangutan dan Badak. “ orangutan dan Badak
merupakan hewan yang hampir punah “ ungkap pria yang lahir pada 22 Maret
1988 silam.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !