Headlines News :
Home » » Akankah India Tetap Memasok Obat Murah ke Dunia?

Akankah India Tetap Memasok Obat Murah ke Dunia?

Written By riki on Sunday, September 30, 2012 | 9/30/2012 09:55:00 PM


oleh : Martin Khor
GENEVA (IPS) – INDIA mungkin terkenal berkat Taj Mahal, perayaan agamanya, film-film Bollywood, dan salah satu negara dengan angka pertumbungan ekonomi tertinggi dalam beberapa tahun terakhir. Namun yang terpenting lagi, India punya pengaruh global yang positif sebagai penyuplai obat generik berkualitas baik, murah, dan dalam jumlah besar, yang menyelamatkan atau memperpanjang umur jutaan orang.
Banyak orang pergi ke India untuk beli obat generik penyelamat hidup dari apotik-apotik. Mereka lalu membawanya dalam kopor-kopor untuk diberikan kepada sanak keluarga yang tak mampu membeli produk bermerek yang mahal.
Sepuluh tahun lalu, perusahaan farmasi India, Cipla, memproduksi obat generik HIV/AIDS yang dapat mengobati seorang pasien dengan biaya US$300 (setara Rp 2,8 juta) per tahun, jauh lebih murah dari produk bermerek seharga US$10.000 (Rp 95 juta) per pasien setahun. Kini versi generik India bahkan lebih murah, di bawah US$80 (Rp 760 ribu).
Ini memungkinkan lebih banyak pasien AIDS diobati, sejak India mensuplai 70 persen dari obat HIV/AIDS yang dibeli Badan PBB untuk Anak-anak (UNICEF), Global Fund, dan William J. Clinton Foundation untuk negara-negara berkembang.
Selain itu, 75-80 persen obat-obatan (tak cuma untuk AIDS) yang didistribusikan Asosiasi Apotik Internasional ke negara-negara berkembang mengalir dari India. Tak aneh bila India dijuluki “apotik dunia berkembang.”
Pada Januari 2012, Asosiasi Industri Obat India (IDMA), beranggotakan 700 perusahaan obat, merayakan ulangtahun ke-50, bersulang atas pertumbuhan yang tinggi industri itu, luasnya jangkauan obat-obatan, dan kontribusinya atas obat yang terjangkau dan menyelamatkan banyak orang.
Namun, ada banyak faktor yang bisa merintangi keberlanjutan peran perusahaan sebagai pemasok utama obat-obatan ke negara-negara berkembang.
Faktor utama keberhasilan adalah keputusan pemerintah pada 1970 untuk mengecualikan pengembangan obat dari produk paten.
Ini membuka jalan bagi perusahaan lokal untuk memproduksi beragam jenis produk generik dari obat-obatan luar negeri yang mahal dan, dalam beberapa dekade, mereka mengambil-alih lebih dari 80 persen pasar domestik, selain mensuplai obat murah ke negara lain.
Situasi ini berubah negatif ketika perjanjian hak intelektual, dikenal sebagai TRIPS, ditetapkan pada 1995 bersama dengan Organisasi Perdagangan Dunia, yang melarang negara-negara mengabaikan hak paten.
Namun, TRIPS memungkinkan masing-masing negara untuk menentukan kriteria sebuah penemuan dapat diberikan hak paten. Selanjutnya, TRIPS memberikan kewenangan kepada masing-masing negara untuk memberikan lisensi yang diperlukan kepada perusahaan lokal yang memproduksi produk-produk paten, jika permohonan mereka kepada pemilik paten atas lisensi sukarela tak dipenuhi.
Untuk menerapkan perjanjian TRIPS, India mengubah undang-undang paten pada 2005 sehingga produk obatnya bisa dipatenkan. Namun, undang-undang baru ini juga mengandung fleksibilitas seperti kriteria paten yang ketat (perubahan kecil atas sebuah produk yang patennya habis tak akan memenuhi syarat untuk mendapatkan paten baru), kelonggaran untuk penolakan publik atas pengajuan paten sebelum keputusan dibuat, dan lisensi wajib.
India memiliki salah satu undang-undang paten terbaik di dunia, yang masih memberi ruang bagi produsennya membuat obat generik. Namun ruang kebijakan lama juga telah terkikis karena banyak obat-obatan baru, sejak 2005, dipatenkan perusahaan multinasional yang menjualnya dengan harga luarbiasa mahal.
Perusahaan-perusahaan India tak bisa lagi bikin versi generik sendiri dari obat-obatan baru kecuali mereka berhasil mengajukan lisensi wajib kepada pemerintah, yang prosesnya rumit. Atau mereka mendapatkan lisensi dari perusahaan mutinasional pemilik paten, yang diberikan dengan syarat ketat, terutama untuk ekspor.
Kekhawatiran lain, India sedang menegosiasikan perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan Uni Eropa. Kesepakatan ini biasanya mengandung aturan-aturan seperti eksklusivitas data dan perpanjangan masa berlaku paten, yang mencegah atau menghalangi produksi obat generik.
Akhirnya, enam perusahaan India baru-baru ini dibeli perusahaan besar dari luar negeri. Jika tren ini berlanjut, pasar obat India bisa didominasi perusahaan multinasional lagi. Masih belum jelas apakah mereka akan terus mensuplai dunia berkembang dengan obat-obatan generik murah ketika ini mungkin akan menganggu produk-produk bermerek mereka.
Organisasi-organisasi kesehatan internasional seperti UNAIDS, UNITAID, dan Doctors Without Borders menyuarakan keprihatinan serius atas tren ini yang mungkin bisa mengancam peran India sebagai pemasok utama obat-obatan yang lebih terjangkau ke Afrika dan negara berkembang lain.
Jutaan orang akan mati jika India tak bisa memproduksi obat-obatan baru untuk HIV/AIDS di masa datang –ini soal hidup dan mati, kata Michel Sidibe, direktur UNAIDS, saat berkunjung ke India tahun lalu.
Maka, perlu ada sebuah strategi yang melibatkan pemerintah dan perusahaan obat untuk menjamin industri obat lokal melanjutkan perannya. Mereka bukan hanya memproduksi obat-obatan yang sudah ada tapi juga obat-obatan baru sekalipun dipatenkan; dan menyuplainya dengan harga murah, tak cuma di India tapi juga ke negara berkembang.
Itulah pesan serius yang muncul selama konferensi perayaan 50 tahun IDMA pada Januari lalu, bahkan di tengah ucapan selamat atas pencapaiannya di masa lalu. *

* Martin Khor adalah direktur eksekutif South Centre di Geneva.

Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Blogger templates

 
Support : Creating Website | Riki Arianto | Copyright#Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Ruang Menulis dan Campur Sari - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template